Pada
Zaman dahulu asal usul sebuah kerajaan Melayu di Lingga yang berpusat
di Kota Daik sebagai Negara Kesultanan Johor-Pahang-Riau-Lingga. Sultan
Mahmud Syah II (1685 – 1699) adalah Sultan Johor-Riau-Lingga-Pahang atau
kemaharajaan melayu yang ke-10. Ia adalah keturunan sultan-sultan
Malaka, sultan ini tidak mempunyai keturunan, untuk penggantinya
dicarilah dari keturunan Datuk Bendahara Paduka Raja Tun Abdul Jalil
yang diberi gelar Sultan Mahmud Syah III. Pada masa ini sultan Mahmud
Syah III masih sangat muda jadi yang menjalankan pemerintahan ialah yang
dipertuan muda Daeng Kamboja yang dipertuan Muda III, jadi ialah yang
paling berkuasa di kemaharajaan di Melayu Lingga. Yang menjadi Datok
Bendahara pada saat itu adalah Tun Hasan, semasa ini pula hubungan
pemerintahan dengan Belanda masih lancar. Sedangkan di Riau berdatangan
pedagang-pedagang dari India. Sedangkan pedagang cina pada saat itu
masih menetap di Kepulauan Nusantara dan pada saaat ini juga yang
mendampingi yang dipertuan muda melaksanakan tugasnya untuk diwilayah
Riau Engku Kelana Raja Haji.
Setelah
yang dipertuan muda III Daeng Kamboja wafat tahun 1777 yang
menggantikannya adalah Yang Dipertuan Muda IV Raja Haji. Raja Haji ini
memerintah dari tahun 1777 – 1784. Sewaktu berada di bawah
pemerintahannya pecah perang antara kemaharajaan melayu dengan kompeni
Belanda di Melaka. Setelah Raja Haji wafat lahirlah sebuah perjanjian
antara kemaharajaan melayu dengan pihak kompeni Belanda. Perjanjian ini
dikenal TRACTAAT AL TOOSE DURENDE GETROO WE VRIENDE BOND GENO OT SCHAP
yang ditandatangani tanggal 10 Nopember 1784.
Setelah
di tinggalkan Raja Haji yang menjadi Di Pertuan Muda Riau, berikutnya
adalah Raja Ali (Anak dari Daeng Kamboja). Masa jabatan dari tahun
1785-1806 ia sebagai yang dipertuan muda ke-V ia lebih banyak berada
di luar wilayah kerajaan sebab kekuasaan pada saat itu lebih banyak
berada di Belanda. Lama kelamaan ia mengadakan perlawanan dan akhirnya
sejak tahun 1785 menetaplah ia di Suka Dana (Kalimantan). Tahun ini juga
kompeni Belanda mengangkat Recident Belanda pertama di Tanjungpinang
dengan nama DAVID RUNDE pada tanggal 17 Juni 1785.
Pada
tahun 1787 Sultan Mahmud Syah III memindahkan pusat kerajaannya ke Daik
Lingga, ini diakibtakan adanya tekanan dari Kompeni Belanda. Walaupun
pusat kerajaan berada di Pulau Lingga, wilayah masih meliputi
Johor-Pahang dimana daerah tersebut Sultan masih diwakili oleh Datuk
Temenggung untuk bagian Johor dan Singapura sedangkan Datuk Bendahara
untuk daerah Pahang. Untuk tahun 1795 terjadi perkembangan politik baru
di negeri Belanda, dimana kompeni Belanda harus menyerahkan beberapa
daerah yang didudukinya ke Inggris. Masa ini disebut juga sebagai masa
INTEREGNUM Inggris di Riau.
Tahun
1802 yang dipertuan muda V berada dipengungsian kembali di Lingga pada
masa intregnum Inggris ini berlangsung Raja Ali wafat 1795-1816 di pulau
Bayan. Tahun 1806 diangkat pula Raja Jakfar menjabat kedudukan sebagai
yang dipertuan Muda Riau pada tahun 1806-1813. Raja Jakfar membuat
tempat pemerintahannya di kota Rentang di Pulau Penyengat. Pada tahun
1811 Sultan Mahmud III memerintahkan anaknya Tengku Husein (Tengku Long
pergi ke Pahang dan menikah disana dengan puteri Tun Khoris atau adik
bendahara yang bernama Tun Ali. Semasa Tun Husin (Tengku long ) berada
dipahang ayahandanya Sultan Mahmut Syah wafat di Daik Lingga tanggal 12
Januari 1812.
Setelah
Sultan Mahmut syah III meninggal dicarilah calon pengantinya. Akhirnya
yang dilantik sebagai sultan pengganti yaitu Tengku Abdul Rahman yang
disetujui oleh pembesar kerajaan dan dari pihak Belanda. Ini dikuatkan
oleh peraturan kerajaan Lingga Riau yang berbunyi Sultan baru harus
dilantik sebelum jenazah Sultan yang wafat di kebumikan.
Setelah
Tengku Abdul Rahman dilantik tahun 1812 Sultan Abdul Rahman Syah
menetap di Lingga. Mulailah Lingga masa itu bertambah ramai karena telah
ada tambang timah disingkep. Sedangkan Raja Ja’far menetap di Penyengat
ia telah menempatkan orang-orang kepercayaannya di Daik Lingga untuk
mendampingi Sultan yaitu Engku Syaid Muhammad Zain Al Qudsi. Suliwatang
Ibrahim, sahbandar Muhammad Encik Abdul Manan dan bagian pertahanan dan
keamanan adalah Encik Kalok. Tengku Husin tinggal di Lingga, beliau
menetap di penyengat.
Pada
tangal 19 Agustus 1818 Wiliam Farquhan Residen Inggris dari Malaka
datang ke Daik untuk bertemu dengan Sultan Abdul Rahman Muazam Syah dan
memberitahukan bahwa wilayah kerajaan Lingga Riau mungkin akan diambil
Belanda. Sultan Abdul Rahman Muazam Syah menjawab berita yang
disampaikan Fanquhan itu, bahwa beliau tidak mempunyai wewenang untuk
mengurus urusan kerajaan, hanya ia menganjurkan Fanquhan dapat
menghubungi Raja Ja’far.
Sultan
Mahmud Riayat Syah III pada zaman beliau memegang tampuk pemerintahan,
beliau membangun istana Robat/istana kota baru dan beliau juga membangun
penjara/Gail. Sedangkan Almarhum Raja Muhammad Yusuf sangat alim beliau
ini adalah penganut Nak Sabandiah. Beliau adalah yang dipertuan muda ke
X yang dilantik tahun 1859 oleh Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah III.
Pada zaman ini di Daik sangat berkembang dibidang agama maupun bidang
ekonomi, sehingga Daik Lingga pada waktu itu menjadi pusat perdagangan
dan pengetahuan. Banyak pedagang yang datang seperti cina, bugis,
keling, siak, Pahang dll. Belanda sudah semakin khawatir kalau Lingga
menyusun kekuatan untuk menentangnya, oleh karena itu, Belanda
menempatkan asisten Residen di Tajung Buton Daik. Pada tanggal 17
September 1833 beliau mangkat dan dimakamkan di bukit Cengkeh. Sedangkan
yang dipertuan muda Raja Muhammad Yusuf Al Ahmadi beristrikan Tengku
Embung Fatimah Binti Sultan Mahmud Muzafarsyah yang merupakan Sultanah
di Lingga. Beliau menggalakan kerajinan rakyat Lingga untuk dipasarkan
keluar kerajaan Lingga. Pada zaman mereka membuka jalan Jagoh ke Dabo
membuat kapal-kapal, diantara nama kapal-kapal tersebut Kapal Sri
Lanjut, Gempita, Betara Bayu, Lelarum dan Sri Daik, guna untuk
memperlancar perekonomian rakyat serta pada zaman beliau juga istana
Damnah di bangun. Sekolah sd 001 Lingga tahun 1875 dengan guru pertama
kami Sulaiman tamatan sekolah Raja di Padang. Guru ini tidak mau bekerja
sama dengan Belanda, walaupun beliau diangkat oleh Belanda.
Pada
zaman ini Lingga mencapai zaman keemasan, sedangkan Almarhum Sultan
Sulaiman Badrul Alamsyah II adalah anak dari Sultan Abdul Rahman Syah.
Beliau diangkat menjadi Sultan tidak disetujui oleh Indra Giri Reteh
selama 25 hari dan terkenalah dengan nama pemberontakan Mauhasan. Namun
Reteh tunduk kembali dengan Lingga. Sultan ini sangat memperhatikan
kehidupan rakyatnya antara lain :
- Mengajukan
dan menukarkan sawah padi dengan sagu (Rumbia) yang di datangkan dari
Borneo Serawak dan membuka industri sagu tahun 1890.
- Membuka
penambangan timah di Singkep dan Kolong-kolong Sultan dengan Mandor
yang terkenal npada zaman itu La Abok dan kulinya orang-orang Cina Kek
yang menurut ceritanya nama inilah nama Dabo Singkep.
Baginda
mangkat pada tanggal 28 Fenruari 1814 dan dimakamkan di Bukit Cengkeh
dengan gelar Marhum Keraton yang didalam kubah. Setelah itu Sultan
Muhammad Muazam Syah (1832-1841) Sultan ini sangat gemar dengan seni
ukir/Arsitektur, beliau mengambil tukang dari Semarang untuk membangun
istana yang disebut Keraton atau Kedaton.
Pada
zaman ini seni ukir, tenun, kerajinan, Mas dan perak sudah ada. Pusat
kerajinan tenun di Kampung Mentuk, kerajinan Tembaga di kampong Tembaga.
Pada zaman beliau juga Bilik 44 dibangun, namun belum sempat di bangun,
namun belum sempat siap bertepatan beliau mankat dan pengantinya tidak
melanjutkan pembangunan gedung tersebut.
Sultan
Abdul Rahman Syah 1812-1832 adalah putra Sultan Mahmud Riayat Syah III
beliau terkenal sangat alim dan giat menyebarkan agama islam serta
mengemari pakaian Arab. Pada masa pemerintahan beliau, saudaranya Tengku
Husin dengan bantuan Inggris dilantik menjadi raja dengan gelar Sultan
Husin Syah. Maka pecahlah kerajaan besar Melayu atau emporium Melayu
Johor-Riau-Lingga menjadi 2 bagian. Istana Sultan Abdul Rahman Syah
terletak di Kampung Pangkalan Kenanga sebelah kanan mudik sungai Daik.
Beliau
mangkat malam senin 12 Rabiul awal 1243 Hijriahn (19 Agustus 1832) di
Daik, dimakamkan di Bukit Cengkeh bergelar Marhum Bukit Cengkeh. Pada
zaman beliau, Mesjid Jamik didirikan atau Mesjid Sultan Lingga,
benteng-benteng pertahanan di Mepar, Bukit Cening, Kota Parit
(Dibelakang Kantor Bupati Lama) serta Benteng Kuala Daik, Meriam pecah
Piring dan Padam Pelita terdapat di mes Pemkab Lingga. Pada zaman beliau
memerintah, beliau sering berperang melawan penjajahan Belanda bersama
dengan Yang Dipertuan Muda Riau diantarnya Raja Haji Fisabilillah atau
bergelar Marhum Ketapang. Beliau mangkat 18 Zulhijah 1226 Hijriah (12
Januari 1912) di Daik di belakang Mesjid dengan Bergelar Marhum Masjid.
Sultan
Mahmud Riayat Syah adalah Sultan yang pertama kali di Daik Lingga.
Beliau adalah Sultan Johor-Pahang-Riau-Lingga XVI yang memindahkan pusat
kerajaan Melayu ke Bintan Hulu Riau ke Daik tahun 1787, dengan istrinya
Raja Hamidah (Engku Putri) yang merupakan pemegang Regelia kerajaan
Melayu-Riau-Lingga. Pulau penyengat Indra Sakti adalah mas kawinnya dan
pulau penyegat tersebut menjadi tempat kedudukan Raja Muda bergelar Yang
Dipertuan Muda Lingga yaitu dari darah keturunan Raja Melayu dan Bugis.
Pada hari senin pukul 07.20 Wib tahun 1899 beliau mangkat dan
dimakamkan di Makam Merah dengan Bergelar Marhum Damnah.
1. ADAT ISTIADAT
Adat istiadat di Lingga masih sangat kental dan masih sering dilaksanakan, diantaranya :
- Adat perkawinan
- Adat mendirikan rumah
2. KESENIAN DAERAH
Kesenian
di Lingga banyak sekali, dan juga telah dikembangkan dalam beberapa
garapan sebuah tarian dan nyanyian serta dalam bentuk sandiwara,
diantaranya :
- Zapin
- Tari Inai
- Silat Pengantin
- Joget
- Bangsawan/tonel
- Hadrah
- Gazal
- Berhikayat
- dll
3. TRADISI DAERAH
Di Lingga mempunyai beragam tradisi daerah diantaranya :
- Basuh lantai
- Ratif saman
- Mandi safar
- Haul Jama’
- Dll.
sumber : http://www.linggakab.go.id/selayang-pandang/sejarah